Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementrian Informasi dan Komunikasi Menkominfo) bekerjasama dengan Kepolisian Republik Indonesia membentuk satuan gugus tugas terpadu (Cyber Task Force - CTF) untuk menanggulangi cybercrime ini. Tidak ketinggalan, kalangan swasta yang diwakili komunitas ISP (Internet Service Provider) pun meluncurkan ID-FIRST untuk tujuan yang sama.
“Tetapi, pemerintah dan kepolisian ikut mendukung. Karena, ID-FIRST ini untuk kepentingan industri, sehingga industri juga perlu merapatkan barisan,” ujar Heru Nugroho, Sekretaris Jenderal APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia).
Kegiatannya, kata Heru, menampung kejahatan ICT (Information and Communication Technology) untuk kemudian memberikan laporan kepada kepolisian. Di samping itu, pihaknya juga sering diminta bantuan oleh kepolisian untuk mendiskusikan cybercrime ini.
Namun, Heru mengakui, ID-FIRST memang tengah mencari format yang tepat seperti apa. Pasalnya, pemerintah mempunyai tugas untuk membuat kebijakan, dalam hal ini adalah undang-undang. Nah, industri harus membuat berdasarkan kebijakan tersebut dengan menyesuaikannya terhadap situasi yang ada.
“Kita belum punya mekanisme yang disepakati secara nasional mengenai langkah-langkah antisipasi soal cybercrime ini,” tegas penggagas ID-FIRST ini kepada eBizzAsia diruang kerjanya.
Dalam pernyataannya tentang CTF ini, Sekretaris Menkominfo, JB Kristiadi, mengharapkan lembaga ini bisa mengalang satu jalur komunikasi yang intensif, proaktif dan sejajar. Jalur komunikasi tersebut merupakan salah satu wahana konsultasi dan berbagi informasi, dalam rangka melakukan kajian, analisa dan penentuan langkah antisipatif dalam rangka menghadapi cybercrime.
“Kementerian Kominfo, Mabes Polri, dan sektor industri yang diwakili ID-FIRST, serta dukungan dari media massa dan masyarakat umum, secara bersama kita menekan seminimal mungkin tingkat cybercrime di Indonesia, sekaligus mengamankan aset bangsa Indonesia dari ancaman cyberterrorism luar negeri,” sarannya.
Kehadiran cyber task force ini memang dirancang untuk menghadapi aspek-aspek teknis respon darurat bila serangan cyber-terrorists terjadi. CTFC ada pada Markas Besar Kepolisian. Di setiap Polda (Kepolisian Daerah), kita bisa jumpai cyber task force ini. Setiap satuan/unit terdiri dari tujuh orang polisi. Bahkan Satuan tugas ini juga tergabung dalam ASEAN Napol yang beranggotakan 10 negara ASEAN.
Misinya adalah mencegah dan merespon keadaan darurat agar kerugian/risiko akibat serangan pada Sistem Informasi terhadap infrastruktur kritis dapat seminimal mungkin. Sementara kegiatannya adalah mengakses kerawanan dari infrastruktur kritis, seperti jaringan listrik, pasokan gas, air dan BBM, jaringan Kominfo, keuangan, pelayanan kesehatan. Fasilitas lain seperti penerbangan, kereta api, pelayanan polisi, kekuatan pertahanan dan pemerintahan. Selain itu, juga merespon secara cepat keadaan darurat agar kerusakannya minim dan menyediakan bimbingan dan bantuan investigasi.
Menurut Direktur II Ditserse Mabes Polri, Brigjen Pol. Suyitno, satuan tugas ini juga dapat membuka akses dengan organisasi-organisasi di luar negeri, seperti di Amerika USSF dan US Costomes, yang perwakilannya sudah terdapat di mana-mana.
Secara teknis, baik teknis penyelidikan maupun peralatannya, antar-aparat penegak hukum ini saling bekerja sama untuk menangkap pelaku dan penadah tindak kejahatan cybercrime ini. Misalnya, peralatan untuk melacak. Namun, Suyitno enggan menyebutkan teknis penangkapan pelaku dan penadah ini. “Karena itu teknis kita. Kalau kita buka nanti orang sudah lari duluan,” serunya kepada eBizzAsia beberapa waktu lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar